Ditulis pada tanggal: 7 November 2010 pukul 02.00 am.
AKU TERMANGU-MANGU memikirkan sakitku. Beberapa waktu ini, aku dilanda sakit aneh tak terperi. Tidak-tidaklah mengapa. Hanya saja, badanku hangat selalu. Keningku agak berwarna merah maroon. Andai aku bicara, mulutku kelu, mirip orang gagu. Bila duduk, aku malas untuk berdiri. Taruhlah berdiri, aku enggan untuk berjalan. Dan saat aku berjalan, entah mengapa, aku gemar mondar-mandir saja, yah, macam gangsingan.
Demi menebus rasa penasaranku, aku berkenan untuk bertandang ke dokter. Rekomendasi orang pintar itu, aku diterpa gejala typhus. Mengetahui hal tersebut, temanku yang Tionghoa langsung berujar, “Kau bisa ke tabib China. Lalu, kalau-kalau sempat, carilah cacing. Bikin air minum dari sari cacing tersebut. Nanti lah sembuh ….”
Ah, pikirku, aku tak merasa sakit typhus, khaqqul yakin! Barangkali, dokter itu sedang dilanda hutang bertumpuk saat memeriksaku..
Aku berinisiatif untuk menanyakan sakitku kepada salah seorang rekan bisnisku. Ia menyentuhkan telapak tangannya kehadirat keningku, lantas meledak, “Ah, kau cuma sakit waras. Derajat kegilaanmu kurang ditambah ….”
Sehari kemudian, aku bersua dengan seorang ustadz-ku, yang selama ini kupercaya sebagai guru spiritual terbaik. Beliau adalah lulusan dari beberapa perguruan tinggi di Timur Tengah. Aku menanyakan perihal sakit anehku. Dengan bijaksananya beliau berkata, “Ananda, perbanyak mendekatkan diri kepada Allah, niscaya pikiranmu akan lebih tenang. Imanmu sedang tak tenteram, naik turun, macam escalator tunjungan plaza ….”
Di lain hari, aku menyongsong sahabat lamaku. Ia berprofesi sebagai trainer nasional. Aku menjumpainya saat ia berkecipak di tepi pantai. Ia bertanya lebih komprehensif perihal sakitku. Kujawab, bahwa meski aku berada di tengah hiruk pikuk yang merebak, hanya hening yang berkelebat di pikiranku. Ia langsung berkomentar, “Oh, tampaknya kau sedang sakit depresi. Solusinya, hanya butuh peak performance yang sempurna. Praktekkan metoda jurus terbaruku ini! Namanya, jurus membelah lautan. Angkat kedua tanganmu tinggi-tinggi. Buang-buanglah dan campakkan. Lalu, kita melompat setinggi-tingginya, dan ayo berteriak sekeras-kerasnya. Yeeeess!!!!”
Aku pontang-panting menuruti praktek latihan jurus aneh itu. Melompat-lompat semacam salto, lalu berteriak-teriak sekeras mercon bom-bom. Untuk kemudian, aku megap-megap dan terkapar di tepi pantai, tak ubahnya seperti kambing gibas kena bedil. Tapi tetap, aku masih sakit. Sakit tak tersembuhkan. Lagu-lagu yang berputar di hatiku adalah: lagu Fin de Semana. Hatiku sendu, tapi syahdu. Syahdu sekali ….
Kucoba untuk bertanya kepada sahabat sekelasku. Ia mencoba untuk merasakan hangatnya badanku dengan meraih tanganku dan menghantarkan ke permukaan pipinya. “Ah, kau bukan sakit, bro!! Aku yakin, kau hanya stress soal urusan ujian morfologi dan anatomi tumbuhan. Pelajaran yang tak pernah masuk di akal itu …,” selorohnya.
Masih belum puas, aku berburu ke tempat salah seorang kawanku yang ahli masak di kota kami. Ia memiliki depot mie yang super ren markeren enaknya. Setiap kali lidahku menyentuh masakannya, sontak bisa-bisa aku langsung terbang sampai ke pucuk rembulan. “Sakitmu ini adalah kolaborasi antara capek badan dan lelah pikiran. Tapi aku berani jamin, jika kau makan masakanku ini, kau pasti akan sembuh,” demikian ajaknya. Dengan berbangga hati, aku langsung makan. Lidahku menyentuh masakannya, lalu tubuhku langsung terbang sampai ke pucuk rembulan. Namun hatiku tetap di bumi. Dan tetap di bumi. Aku masih sakit, dan tak tersembuhkan ….
Namun, untuk terakhir kalinya, akhirnya aku dapat menemukan jawaban atas sakit anehku itu. Tak perlu jauh-jauh mencari jawaban. Sejatinya, orang-orang terbaik adalah berada di sekitar kita. Ibuku adalah tokoh yang ternyata berhasil menguak enigma dan misteri besar yang menyeruak dalam diriku. Saat aku mengkonfirmasikan sakit anehku kepada ibuku, beliau langsung mengusap-usap dan membelai kepalaku. Jari-jemari hangatnya membelah ubun-ubunku, melipur laraku. Dengan lembutnya beliau bersabda, “Nampaknya, kau sedang jatuh cinta ….”
***
NB: Ditulis pada saat dahulu dilanda insomnia, jatuh cinta. Ah, jatuh cinta .... Kini, wanita yang pernah membuat saya jatuh cinta tersebut telah menjadi pendamping hidup saya. Hehe ....
Jikalau engkau sedang murung, datang-datanglah ke negeri kami, negeri kedamaian ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar