Miracle - 2
Karir Politik
“Politik itu mahal, bahkan untuk kalah pun kita harus mengeluarkan banyak uang.”
— WILL ROGERS, PELAWAK POLITIK
Karir Politik
“Politik itu mahal, bahkan untuk kalah pun kita harus mengeluarkan banyak uang.”
— WILL ROGERS, PELAWAK POLITIK
INI ADALAH romantika. Romantika politik yang jahat kala itu, hingga menenggelamkan kehidupan keluarga kami tanpa ampun.
Seorang ayahku, aku mengenalnya dari cerita-cerita tentangnya bahwa ia adalah sosok pribadi yang tampan, berwibawa, dan pandai mengaji. Semenjak belia, ia sangat populer di seantero penjuru desa sebagai seorang pria yang langganan juara satu di berbagai lomba membaca Al Quran dan berpidato. Selain itu, bak pujangga kawakan ia amat cakap dalam berpuisi dan melatih bela diri. Di samping karena kakekku yang telah lama meninggal adalah seorang haji yang dermawan, ayahku memang benar-benar berkepribadian populis.
Ia amat berkapabilitas dalam soal berbicara dan berpidato. Kemampuannya dalam menyusun kata-kata sangat bagus. Daya akustik suaranya sangat bertenaga. Gesture tubuhnya tegap, kulitnya kuning, matanya lentik dan indah. Ia mempunyai kepribadian koleris sang pemimpin. Semua hal tentang ruang kharismanya terletak pada cara ia menyisir rambutnya yang senantiasa terawat rapi. Itulah alasannya mengapa dahulu ayah sampai diterima tatkala meminang ibuku yang notabene seorang kembang di desanya.
Namun malam itu rumah kami ramai didatangi banyak orang, karena beredar kabar bahwa ayahku sedang mencalonkan diri menjadi kepala desa. Ayah menebar senyum di mana-mana. Senyumannya beraroma wibawa. Hampir setiap hari ibuku sibuk menyiapkan kudapan dan aneka minuman. Ibarat rumah seorang calon legislatif yang sedang aktif membangun komunikasi politik, rumah kami tak pernah sepi sejak pagi hingga paginya lagi.
Ayah hanyalah seorang petani kecil yang juga pintar berdagang barang apa saja. Ia mengawali karir politiknya dari menjadi seorang pamong desa bidang pembangunan. Memang, sejak lama telah banyak tokoh dan kalangan masyarakat desa yang mendorong keras agar ayah ikut dalam pencalonan kepala desa, salah satu sebabnya adalah karena ayah memiliki reputasi sebagai pria yang memang pantas memegang posisi itu. Sehingga tatkala beliau telah resmi mendaftarkan diri dalam bursa pencalonan, rumah kami mendadak banjir dukungan mulai dari para mantan kepala desa, tokoh-tokoh, sesepuh, para guru, saudagar terhormat, hingga para ustadz dari pesantren-pesantren.
Hingga saat daftar calon kepala desa telah resmi diterbitkan, hanya ada dua orang yang telah mendaftarkan diri. Seseorang bernama Sukandar: diwakili oleh gambar jagung, dan seorang yang lain adalah ayahku: diwakili oleh gambar padi. Inilah bentuk demokrasi di negeri kami kala itu.
Pembaca budiman, cerita tentang karir politik ayahku ini akan aku lanjutkan. Namun aku mohon maaf beribu-ribu maaf, karena pada beberapa bagian bab di awal ini, ceritanya akan lebih banyak berhubungan dengan persoalan politik, sehingga bahasanya amat kepolitik-politikan.
Ibarat wortel busuk berwarna hitam kemerah-merahan dihidangkan agar kita berkenan memakannya, sungguh tak sedikit dari kita—termasuk aku sendiri—yang enggan mengunyah kata politik ke tataran benak pikir.
“Politik itu jahat dan akan menyusahkan siapa saja …,” demikian ibuku pernah berkata.
Namun pada faktanya, politik itu ada, harus ada, dan menjadi kebutuhan kita. Nah, aku ingin menceritakan semua ini untukmu sahabatku ….
----- o0o -----
Sebuah sejarah terjadi tatkala genderang aba-aba dibukanya masa kampanye di panggung politik desa kami ditabuh! Satu hal yang masih diingat oleh ibuku hingga kini: keluarga kami mulai merasakan kehidupan yang terlunta-lunta sejak ini.
Hampir kebanyakan orang akan berkata bahwa pesta pemilihan terpanas di negeri kita adalah pemilihan petinggi desa. Oleh karena masa menjelang itu adalah masa ketika eksistensi sesungguhnya dari sebuah nama betul-betul dipertaruhkan habis-habisan. Kedua pihak—blok jagung dan blok padi—saling berkompetisi untuk berperang dalam menebar pesona dan membangun reputasi yang tinggi di mata masyarakat.
Komunikasi politik dibangun dengan cara menggalang simpati dan dukungan sebanyak-banyaknya dari berbagai tokoh dan kalangan. Aksi dukung-mendukung terjadi. Namun dukungan kepada pihak ayah ternyata jauh lebih banyak. Mayoritas tokoh-tokoh besar di desa kami lebih tertarik untuk mendukung perjuangan ayah. Tak terkecuali pada kebanyakan masyarakat, mereka mengelu-elukan dan berharap besar agar ayah menang.
Ibarat kala itu ada sebuah lembaga survey yang berani melakukan riset, maka dapat dipastikan bahwa prediksi kemenangan jelas ada di pihak gambar padi, dengan kategori: menang telak.
Salah satu alasannya adalah karena sejak lama masyarakat telah memandang sosok Sukandar sebagai orang yang mempunyai reputasi pemabuk. Namun satu fakta tentang nilai lebih yang ia miliki: ia amat kaya raya. Sukandar adalah seorang juragan besar yang mendapatkan banyak harta warisan dari ayahnya yang memang sejak dahulunya kaya raya.
Barangkali, demikianlah intrik kehidupan di negeri kita sejak dahulu: orang yang memiliki uang, maka ia memiliki kans besar untuk mewujudkan segala keinginannya, tak terkecuali untuk menjadi seorang pemimpin, meskipun pemabuk.
Awalnya masa kampanye berjalan dengan biasa adanya. Masing-masing pihak berkompetisi dengan melakukan effort adu cepat untuk meraih sebanyak-banyaknya popularitas di mata masyarakat. Setiap hari ayah nyaris sibuk menghabiskan waktunya untuk menemui para kader dan tim sukses. Kalau boleh aku membahasakannya dengan bahasa yang lebih agak rumit namun tampan sebagaimana orang-orang di Jakarta kerap bersilat kata di layar televisi, sebagai langkah aksebilitas politik, masing-masing pihak berjuang mengupayakan untuk mendongkrak elektabilitas, kredibilitas, integritas, sensitivitas, dan popularitas dirinya selama masa kampanye. Aduhai, amat tampan kan bahasaku? Tahu maksudnya? Aku pun bingung tak tahu artinya. Ah, sudahlah ….
Pembaca budiman, pada masa itu ayah mulai gemar mengenakan gaun batik yang terlihat anggun. Ada saat-saat tertentu kadang beliau mengenakan setelan jas dan celana hitam yang menawan. Beliau mulai rajin berceramah di mana-mana.
“Kemakmuran rakyat adalah esensi spiritual dari nilai kekuasaan,” demikian ayah sering berujar.
Setiap hari Jumat tak akan pernah ia lewatkan waktu untuk berkhutbah ke Mesjid-Mesjid yang berbeda untuk setiap Jumatnya. Andai subuh, ia pun gemar berceramah subuh dari Langgar satu ke Langgar yang lain. Keluarga kami tersanjung, pada masa-masa kampanye ternyata ayah mempunyai profesi baru yang amat tampan: berceramah.
Namun, sebuah babak baru tiba-tiba terjadi. Politik hutan rimba mulai tampak tatkala suatu hari muncul kabar spektakuler di desa kami.
“Sukandar membagi-bagikan beras ke seantero desa ….!!!” demikian laporan dari salah seorang tim sukses ayah yang datang terbirit-birit pada suatu malam.
Ayah tersentak luar biasa demi mendengar ini. Kabarnya, Sukandar kemarin telah membagi-bagikan beras masing-masing 25 kg ke seluruh masyarakat calon pemilih di desa kami yang berjumlah lebih dari 2.500 orang. Sebuah serangan hebat membabi buta. Sejak inilah ayah mulai dilanda kebingungan luar biasa. Selama dua hari dua malam ia tak dapat tidur demi menumpahkan batinnya dalam rangka berpikir tentang langkah apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Apakah harus diupayakan untuk membalas serangan Sukandar yang telah disorientasi itu? Kalaupun demikian, ayah harus rela menjual seluruh tanah sawah miliknya.
“Tak ada uang, tak akan punya rakyat,” ujar beberapa orang makin memanas-manasi.
Dalam politik, acapkali manusia terpaksa dihadapkan pada persoalan yang menenggelamkannya agar tak dapat berpikir panjang, termasuk ayahku. Akhirnya ia tiba pada suatu keputusan untuk menjual seluruh tanah sawahnya dengan harga murah lantaran kepepet demi mengejar waktu. Ibu kerap ingin menangis demi melihat suaminya terjebak pada persoalan yang demikian.
Hingga terjadilah pada suatu hari tatkala seluruh ruangan di rumah kami menjadi penuh sesak lantaran dijejali berkarung-karung beras. Ribuan masyarakat antri berdatangan untuk menerima hibah tak diduga-duga dari ayah: sekarung beras 25 kg. Sebuah langkah balasan demi menebar jala politik sebesar-besarnya.
Atmosfer desa semakin memanas tatkala sehari berikutnya terdengar kabar yang menggegerkan bahwa pihak Sukandar kembali melakukan serangan jahat dengan membagi-bagikan sekarung beras 25 kg untuk yang kedua kalinya ke seantero masyarakat desa. Lebih mencengangkan lagi, khusus bagi tetangga-tetangga dekatnya, bisa meminjam uang kepadanya tanpa jaminan. Plus, ia berjanji bahwa jika ia terpilih, maka untuk hutang dibawah 100 ribu akan dibebaskan. Perlu diketahui, bahwa angka 100 ribu di tahun 80-an kurang lebih sama nilainya dengan angka 1 juta di tahun 2000. Sebagai tambahan lagi, jika seandainya ia tidak terpilih, maka beras 50 kg yang telah ia bagikan sebelumnya harus dikembalikan.
Sebuah kabar yang mengejutkan! Ayah mulai limbung dan merasa pening. Pikirannya semakin kalut dan runtuh berantakan. Bagaimana tidak? Ibarat dalam sebuah kemelut medan peperangan besar, ayah telah kehabisan amunisi peluru. Ayah sudah tak memiliki modal. Ia amat bingung untuk menyikapi langkah Sukandar yang telah membabi buta. Demi melihat situasi ini, ibuku yang penyabar berusaha membesarkan hati ayah dengan berkata, “Sudahlah, tak usah disikapi dengan gegabah. Urusan menang adalah urusan Allah. Mereka yang memiliki modal besar belum tentu akan menjadi pemenang kalau Allah tidak memperkenankannya.” Lantaran perkataan ibu inilah ayah mulai dapat berpikir jernih.
Pembaca, kalau boleh kita main hitung-hitungan, berapakah gaji sebenarnya untuk seorang petinggi desa? Aku pernah menanyakan hal ini kepada ibu. Beliau menjawab, “Paculen bengkok iku sampe gegermu bongkok!” (Dibaca: Cangkul saja tanah bengkok itu sampai punggungmu bongkok!)
Artinya, kepala desa tak pernah digaji. Gajinya hanyalah berupa tanah sawah bengkok desa yang dipinjamkan. Setelah masa jabatan usai, tanah sawah itu dikembalikan kepada desa. Sebagai gambaran, luas bengkok perangkat tiap daerah tidak sama, biasanya rata-rata luas bengkok seorang kepala desa sebesar 6 bahu atau 4,2 hektar.
Ajaibnya, ketika aku menghitung bahwa seandainya sawah tersebut digarap, maka hanya akan didapatkan sejumlah total uang pemasukan yang jauh lebih kecil daripada uang modal untuk kampanye sekelas Sukandar. Alias rugi total.
Di dunia ini ada beberapa fenomena yang tak dapat dijelaskan dengan sains. Misalnya, engkau pasti pernah mendengar legenda tentang UFOs yang tak bisa disangkal bahwa begitu banyak orang di dunia ini telah bersaksi melaporkan keberadaan Unidentified Flying Objects (UFOs), dari hikayat tentang piring terbang hingga mahluk berkepala botak dengan mata memanjang. Sebenarnya, adakah mahluk hidup selain manusia di luar sana? Itu adalah salah satu pertanyaan yang belum dapat dijelaskan oleh sains.
Demikian pula dalam perkara politik, mengapa begitu banyak orang di dunia ini yang ingin meraih tampuk kekuasaan untuk menjadi pimpinan dengan mempertaruhkan modal harta yang ukurannya jauh lebih besar daripada gaji yang akan diterima? Ah, ini pun termasuk pertanyaan yang tak dapat dijelaskan oleh sains, hingga sekarang.
Cerita tentang ini akan akan aku ceritakan lebih menarik pada bab-bab selanjutnya.
>>> LANJUT KE: NOVEL JAMESBON MIRACLE BAB 3
Notes:
Novel Jamesbon Miracle di-upload exclusive di blog ini secara berseri dan bertahap. Nantikan bab demi bab berikutnya. Mudah-mudahan menyenangkan bagi anda semua.
Jikalau engkau sedang murung, datang-datanglah ke negeri kami, negeri kedamaian ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar