Minggu, 12 Desember 2010

ORANG DESA VERSUS ORANG KOTA

Saat ini, hampirlah tiap hari aku berkeliling ke seluruh wilayah di Jawa Timur. Mulai dari penjuru barat hingga penjuru selatan. Meretas ke utara hingga pun pelosok timur. Itu dalam rangka mengurusi aktivitas usahaku di SB Group—sebuah perusahaan baru yang kami dirikan. Dan aku adalah penanggung jawab di bidang distribusi barang ke daerah-daerah. Karena aku hobi berkelana, aku benar-benar menikmati aktivitas ini. Berkahnya, aku bisa mengamati hampir seluruh kebiasaan absurd hampir seluruh penjuru masyarakat. Sebenarnya, aku ingin terus bisa mengusahakan diri agar bisa seperti Dahlan Iskan. Di tengah-tengah aktivitas beliau yang super duper padat, masih-masihlah bisa menulis.

Pembaca, jikalau aku sedang melewati pelosok desa bagian timur dari Jawa Timur (area tapal kuda), maka akan nampak fenomena yang nampak jauh mencolok dari kebiasaan masyarakat kota di bagian barat. Sebagaimana contohnya, kalau ternyata, orang desa gemar berbatuk-batuk. Sedangkan orang kota gemar sekali berdehem-dehem.


Ada banyak perbedaan yang amat curam antara orang desa dan orang kota, sebagaimana beda orang Amerika dan orang Rusia. Dengarkanlah kisah ketawaku ini ….

Saat pagi-pagi sekali, di sepanjang jalan raya di pelosok desa, anak-anak desa berkerumun, bersama-sama bersuka-suka mengendarai sepeda angin hendak pergi bersekolah. Yang laki-laki saling tersenyum-senyum. Yang perempuan memakai jilbab nan anggun. Santun bak orang-orang santri. Rukun, tenteram, dan indahnya ….
Sedangkan saat pagi-pagi di kota, anak-anak kota berlomba-lomba menunggangi motor buatan orang-orang Jepang. Kalau tak Jepang tak hebat. Sedang para gadisnya, menunggangi motor tunggang langgang sembari rambutnya yang serba derebonding berkibar-kibar ke mana-mana persis sebagaimana penampilan para wanita penghibur. Suara blayer motor berkumadang dan gumelegar di mana-mana hingga memekakkan langit, mengalahkan suara hati nurani rakyat-rakyat merana.


Ketika aku sempat menikmati makanan rujak orang desa, rasanya asin-asin manis bersensasi ketentraman aroma kedamaian nan tak tertanggungkan. Sungguh! Sedangkan rujak orang kota, rasanya manis-manis asem agak sedikit pahit, sebagaimana pahit getir berabad-abad masyarakat Indonesia jadi kuli batu para penjajah kompeni.

Ada uniknya lagi. Para gadis di desa, mereka cantik alami, sealami padi organik yang tercipta dari benih unggul, dipilih melalui mekanisme terjamin dengan standar kualitas yang terprosedur. Sedangkan para gadis di kota, mereka cantik, tapi cantik tambalan, sebagaimana jalan aspalan yang ditambal berkali-kali, digarap oleh kawanan kontraktor nakal hasil didikan para preman.

Menariknya lagi. Orang-orang desa, standar berbualnya berkisar maksimal 10 centimeter kubik per menit. Ya, seukuran pensil kecil. Sedangkan orang-orang kota, strandar berbualnya hingga berkisar 50 meter kubik per menit. Angka 50 meter kubik kalau dirupakan dalam bentuk air yang disemprotkan, maka akan mampu melemparkan manusia hingga modar berpuluh-puluh meter jauhnya. Alamak, ampunlah ….

Di desa, kebiasaan memelihara anak seperti memelihara kucing. Semakin banyak semakin lah suka suka ria. Sedangkan di kota, kebiasaan memelihara anak seperti memelihara utang. Tak mau banyak-banyak, takut muntah-muntah. Semakin banyak, kabarnya semakin susssaah tiada rupa.

Ada lagi. Semakin merambah ke wilayah desa, khutbah-khutbah Jumat semakin simpel dan pendek-pendek. Sependek cerita pendek. Sedangkan semakin merambah ke wilayah kota, khutbah-khutbah Jumat semakin panjang seperti ular tanpa buntut, para khatibnya amat gemar berceramah seperti penyiar warta berita TVRI yang baru naik panggung. Membosankan!

Aku pernah mendengar kisah tentang 2 orang pengangguran. Seseorang dari desa dan seseorang lainnya dari kota. Semenganggur-nganggurnya orang desa, masih bisa makan dengan kenyang dan dapat hidup dengan tenang. Tapi semenganggur-nganggurnya orang kota, hidup segan mati tak mau. Bisa-bisa, pekerjaan yang dilakukan tiap hari adalah cuman berkedap-kedip saja.

Jikalau orang desa tak memiliki pekerjaan, ia masih bisa merumput ke pematang, untuk berternak 60 ekor kelinci. Kalau seseorang sudah memiliki 60 ekor kelinci, maka tentu ia sudah bisa menghidupi keluarga dengan membeli beras serta membayar SPP anak-anaknya. Dan jika sudah berkembang menjadi 600 ekor kelinci, istrinya ingin beranak-pinak berapa jua, tak jadilah masalah ….

“Lihatlah aku, semenganggur-nganggur orang desa sepertiku, keluargaku masih bisa tetap makan kenyang. Cukuplah aku pergi ke ladang, mencabut singkong, dan nikmatilah kudapan singkong bakar. Nikmaat …,” demikian perkataan seorang lelaki dari desa di ujung.

Jikalau orang kota tak memiliki pekerjaan, melulu yang dikerjakan adalah facebook-an. Setiap hari melahap iklan koran lowongan pekerjaan. Afdruk foto 4x6 hingga beribu-ribu-ribu-ribu-ribu-ribu lembar. Dan amplop coklat yang berjumlah pak-pakan sudah menjadi barang komoditi yang harus rutin dikulak. Kalau sudah patah arang, pekerjaan rutin paling hebat yang dilakukan adalah gemar berbual dan menyalah-nyalahkan para bapak pemerintah. Mulai dari bapak pemerintah yang suka tidur-tiduran, sampai pada bapak pemerintah yang suka jalan-jalan. Mau mencabut singkong? Ah,singkong mbah-nya kali. Di kota tak ada barang gratisan!

Dan ternyata, ada lagi perbedaan unik antara orang desa dan orang kota. Yakni ternyata, orang desa gemar menjelek-jelekkan orang kota. Sedangkan orang kota, gemar sekali mengagung-agungkan orang desa.

Nah, kalau menurut Anda, ingin hidup di mana, di desa atau di kota?

Salam sukses untuk semuanya.

Domo arigatoo gozaimasu.



Tulisan Kreatif Oleh:  Ipung Atria
Mail or facebook:  ipung_atria@yahoo.co.id




Jikalau engkau sedang murung, datang-datanglah ke negeri kami, negeri kedamaian ....
www.negerikedamaian.tk

Tidak ada komentar:

Selamat datang di negeri kedamaian

Share ya ....

KLIK LIKE UNTUK MENDAPATKAN ARTIKEL MENARIK, GRATIS!!