Jumat, 09 Desember 2011

CINTA MATI JUWET

KONON, kami mengenal buah ini sebagai buah ajaib dari langit. Jika Anda mengincip pucuk-pucuknya, maka akan terasa manis-manis separuh kecut separuh terbang ke langit. Jika Anda mencoba untuk mengincipnya dua menit saja di dalam mulut, maka akan terjadi pertemuan antara perpaduan rasa buah manggis, buah mangga, buah durian, buah nanas, dan buah buah rindu serta cinta yang tiada tara.

Anda bisa mengulumnya semacam permen. Saat mengulum buah ini, cobalah untuk tersenyum sejenak, lalu kibarkan mata, naikkan alis, dan kencangkan pipi, maka Anda akan menemukan sebuah sensasi penting: Anda akan merasa seperti hidup di negeri orang yang entah di mana, bukan di bumi, bukan pula di planet-planet. Lebih tepatnya: Anda akan lupa. Letakkan buah ini di lidah bagian kanan, maka akan terasa seperti mengulum manisan coklat magnum. Letakkan buah ini di lidah bagian kiri, maka akan terasa seperti mengulum pudding plum. Sungguh!!

Kami menamai buah eksentrik pemberian Tuhan ini sebagai: juwet.



Kabarnya, buah ini semakin hari semakin langka saja. Amat susah diketahui keberadaannya. Hampir tak ada lagi petani yang berkenan memelihara pohonnya. Dan sudah panceklik untuk ditemui di pasar-pasar buah.

Dahulu, amat dahulu sekali, kami menemui buah ini melimpah ruah. Tatkala tiba musim panen juwet tepatnya saat kami masih kelas 3 SD, di mana-mana juwet. Di rumah juwet, di sekolah juwet, dan shalat di Mesjid pun: juwet. Sampai-sampai, hampir seluruh percakapan kami, ditaut-tautkan dengan juwet.

Saat kami sedang bersenda gurau, salah seorang teman kami yang kelakuannya mirip cacing kremi terkena imbasnya, “Kalau kau tersenyum begitu, mukamu amburadul mirip juwet. Aku yakin, pasti ibumu dahulu kerjaannya suka menyidam juwet.”

Pernah suatu kali, seorang kawan kami di dalam kelas, meminta pinjam penghapus. Langsung saja, ia terkena damprat, “Kau sekolah, apa modal juwet?!!”

Atau, seorang kawan lagi, tak masuk sekolah, tatkala diabsen oleh guru kami, terkena ampasnya. “Dia tak hadir, bu. Lagi sibuk mengunduh buah juwet!!” Spontan, langsung terkena vonis: ALPA MERAH.

Suatu ketika, aku terobsesi untuk memiliki koleksi kartu mainan yang banyak, sebagaimana kawanku yang lain. Aku tak seberapa memiliki budget uang demi membeli kartu gambar yang sebanyak itu. Nah, saat pohon juwet di kebun pamanku sedang panen dan berbuah banyak, aku mengunduhnya susah payah. Memanjat pohon juwet yang kekar tersebut sekenanya. Melibasnya dengan bambu panjang. Tak dinyana, aku terjungkal hebat, terjengkang, tanganku keseleo dan korsleting, lantas badanku demam berhari-hari. Namun baiknya, hasil dari panen berupa tiga mangkuk besar buah juwet tersebut dapat aku tukar dengan seratus kartu bergambar Kotaro Minami—Satria Baja Hitam RX. Aku berbunga-bunga ….

Buah juwet juga bisa ditukar dengan martabatmu. Yakni, saat kita disatroni oleh kawan karib kita, ia tak mau menyapa kita lantaran sebuah perkara sabotase yang remeh temeh. Susah untuk menjalin persahabatan kembali. Akan tetapi, gampang caranya!! Aku datangi ia ke rumahnya dengan membawa seberkas upeti berupa semangkuk buah juwet. Pastilah ia akan tersenyum, mau bersalaman, dan reputasi namaku kembali membaik. Hebat bukan??

Saat momen jam istirahat di sekolah SD-ku dulu, bertebaranlah di mana-mana makhluk-makhluk penebar virus juwet. Mereka menjual seplastik kecil buah juwet dengan harga: Rp. 50. Kami suka membelinya, mengudapnya rame-rame, lantas dampaknya: bibir dan mulut kami berwarna hitam kelam, sebagaimana usai mengunyah susur. Lalu, berbanggalah hati kami sembari tertawa-tawa.



Bertepatan tanggal 17 Agustus, di desa kami juga ramai dengan beraneka lomba agustusan. Salah satu nama lomba hebatnya: lomba memakan buah juwet. Dan pasti sekarang, lomba macam itu sudah tak pernah ada lagi, sampai kiamat.

Ada satu mekanisme tertentu untuk memakan buah juwet sedemikian hingga menjadi terasa manis dan sensasinya luar biasa. Yakni, dengan mengopyoknya di dalam mangkuk yang tertutup, dicampur dengan gula. Kami pun rajin menghitungnya. Aplikasi kopyokan harus dilakukan sebanyak minimal 25 kali. Andai kurang dari itu, maka takkan manis rasanya. Entahlah, aturan darimana model hitungan sinting semacam itu.



Suatu ketika hatiku dilanda amat merana. Oleh sebab pamanku menebang pohon juwet satu-satunya di desa kami. Pohon itu ditanam oleh nenekku. Berdiri kekar, berkawan perdu, dan diapit oleh gulma-gulma serta pohon salak selama bertahun-tahun. Aku gerimis, demikian pula pohon yang malang itu. Tumbang menangis diterpa gergaji mesin yang beringas. Satu hal yang tidak dapat aku terima: pamanku membantainya dengan alasan lantaran pohon juwet tersebut telalu menjorok ke sawah, sehingga buah-buah yang dijatuhkannya berakibat rusaknya tanaman padi.

Sejak saat itu, aku merayakan hari-hari sebagai momen mulai raibnya buah ajaib kesukaanku ini dari muka bumi. Aku akan senantiasa merindukan hadirnya buah ini.

Pembaca yang budiman, Anda mengenal buah ini? Masihkah ada di tempat Anda?



Jikalau engkau sedang murung, datang-datanglah ke negeri kami, negeri kedamaian ....
www.negerikedamaian.blogspot.com
www.SyukuraBadi.com

2 komentar:

Suwanto mengatakan...

dulu waktu aku masih SD buah ini masih ada sekarang Langka entah dimana

bima mengatakan...

Sekarang gak pernah ketemu lagi..

Selamat datang di negeri kedamaian

Share ya ....

KLIK LIKE UNTUK MENDAPATKAN ARTIKEL MENARIK, GRATIS!!