Selasa, 30 November 2010

NAMIDAIRO

“Namidairo, om. Inilah lagunya. Cobalah dengarkan intuisinya …,” tukas keponakan perempuanku yang berusia masih belia. Mimik wajahnya mengejawantahkan bahwa ia benar-benar ingin aku mendengarkan lagu baru kesukaannya itu.

Aku menuruti permintaanya. Kudengarkan. Pertama kali aku mendengarkan kumandang lagu itu, biasa saja, sebagaimana aku mendengarkan lagu-lagu yang dinyanyikan oleh para artis ibukota yang kegemarannya mengokang microphone, tersenyum-senyum, memakai tank top, lalu tersenyum-senyum lagi, dan orang-orang tepuk tangan.

Namun saat tepat bulan purnama kemarin, aku sempat mengunci pintu kamar, mematikan lampu, dan kucoba untuk mendurja. Lalu kusulut lagu tersebut: namidairo ….

Tepat bait pertama, kudengarkan, kusandarkan diri ke dinding, aku nestapa, menderita ….
Saat bait kedua, kurasakan, suasana semakin sepi, dan aku terbuai sendirian.
Memasuki bait ketiga, aku pedih, tersedu sedan.

Namidairo koe ga kikoenai yoru wa.
Aku seperti diterbangkan ke langit, terisak-isak, dan aku dipeluk rembulan.

Komarasete shimau hodo wagamama ni naritai.
Kawanan awan-awan menghampiriku, lalu aku terbaring di atasnya. Terapung-apung ….

Daijyoubu sou itte mita kedo.
Air mataku terburai, menggenang, menepi-nepi, dan tanpa terasa bercucuran menyaingi hujan.

Sonna hazu nai desho ....
Tapa sadar, aku telah tergenang dalam aroma patah hati. Ya, patah hati.

Yui, demikian nama penyanyinya, telah menyihirku, dan mengakuisisi relung hatiku untuk masuk ke dalam dunia yang serba complicated: patah hati. Dan dentum jantungku tiba-tiba memasuki eskalasi yang lateral dan tidak beraturan. Aku ingin terbang, terbang, tanpa sayap, tanpa mesin, dan tanpa apa-apa.

Namidairo.
Aku ingin mendengarkannya, sekali lagi ....


Tidak ada komentar:

Selamat datang di negeri kedamaian

Share ya ....

KLIK LIKE UNTUK MENDAPATKAN ARTIKEL MENARIK, GRATIS!!